A.
Sekilas Asal Muasal Bangsa Indonesia BERDASARKAN penelitian arkeologis, bangsa Indonesia –kecuali sebagian
besar bagian timur– adalah termasuk rumpun Melayu sebagaimana penduduk Asia
Tenggara lainnya yaitu Filipina, Malaysia, Kamboja, Vietnam, Laos, Thai dan
Myanmar (dulu Burma). Adapun bagian timur Indonesia termasuk rumpun Melanesia
atau ras Pasifik.
Rumpun adalah keluarga bangsa atau bentuk kumpulan
beberapa bangsa. Rumpun Melayu berasal dari wilayah yang kini masuk Provinsi
Yunnan, bagian selatan Republik Rakyat Cina. Dalam istilah lama dikenal pula
dengan nama “India Belakang”. Mereka mulai tersebar ke seantero Asia Tenggara
sekitar 3000-2000 tahun sebelum Masehi karena didesak oleh rumpun lain yaitu
Mongoloid.
Rumpun Mongoloid mencakup beberapa bangsa yang kita kenal
dengan Cina, Korea, Jepang, Tibet, Manchu dan Mongolia. Suku-suku dari Rumpun
Melayu yang menjadi cikal bakal bangsa Indonesia pindah ke gugusan pulau yang
tersebar luas di selatan daratan Asia Tenggara, yaitu Nusantara. Diperkirakan
mereka pindah karena konflik intern serumpun atau langsung setelah terdesak oleh
Rumpun Mongoloid. Dengan demikian mungkin dapat dinilai bahwa bangsa Indonesia
dasarnya adalah bangsa pecundang. Jarang menang jika ada pertarungan atau
persaingan dengan bangsa lain karena moyangnya demikian.
Perpindahan
massal tersebut dikelompokkan dengan istilah Melayu Tua. Maka, citra bangsa ini
sebagai pelaut atau minimal keturunan pelaut agaknya perlu ditinjau ulang
–termasuk kalimat lagu Nenek Moyangku Orang Pelaut– karena mereka mengarungi
lautan bukan karena jiwa pelaut tetapi terusir dari kampung halamannya di benua
Asia dan berlayar ke gugusan Nusantara.
Sekitar 300 tahun sebelum Masehi
terjadi gelombang kedua yang dikenal dengan sebutan Melayu Muda. Mereka telah
mengenal logam untuk kebutuhan perkakas, setingkat lebih tinggi dari para migran
gelombang pertama yang masih menggunakan batu.
Bagi penduduk Nusantara,
periode 3000 tahun sebelum Masehi hingga 500 tahun sesudah Masehi lazim disebut
pra sejarah karena belum mengenal tulisan. Maka, pembagian periode pra sejarah
atau mencari nama-nama pribadi jauh lebih sulit. Peninggalan yang sampai kepada
kita hanyalah fosil, perkakas dan perhiasan yang tersebar dalam beberapa situs
arkeologi.
Istilah pra sejarah mungkin terkesan membingungkan atau
janggal karena ilmu yang mempelajari periode tersebut adalah juga sejarah,
mengingat sejarah adalah ilmu yang mempelajari kehidupan masa lalu, terlepas
dari soal terdapat warisan tertulis atau belum. Kalau boleh usul, istilah pra
sejarah diganti dengan istilah “pra tulisan”.
Pelan tapi pasti, penduduk
kuno tersebut menata hidup di tempat yang baru. Kehidupan berkelompok
mengharuskan mereka untuk memilih minimal 1 orang untuk memimpin demi
keteraturan masyarakat. Dengan demikian mereka mengenal dasar-dasar demokrasi.
Masalah bersama dibahas bersama –lazim disebut musyawarah– dan pemimpin
melaksanakan hasil musyawarah tersebut. Hasil pembahasan yang telah disetujui
bersama atau mayoritas peserta, lazim disebut mufakat. Dengan memiliki pemimpin,
suatu kelompok mengenal dasar-dasar pemerintahan atau tata negara karena seorang
pemimpin mustahil mampu bekerja sendiri. Dia perlu bantuan beberapa orang untuk
diberi tugas, dengan demikian bangsa ini boleh dinilai telah mengenal apa yang
kini lazim disebut kabinet. B. Hubungan Awal Dengan Bangsa Asing
Asal muasal peradaban adalah dunia Timur, sekitar 5000-3000 tahun
sebelum Masehi muncul peradaban di Mesir, Mesopotamia (kini mencakup ‘Iraq,
Kuwait dan sedikit Turki), Arabia, India dan Cina. Melalui proses waktu yang
relatif lama peradaban tersebut tersebar dan ada yang terhubung satu sama lain,
secara langsung maupun dengan perantara. Barat menerima pengaruh Timur antara
lain dari bangsa-bangsa Mesir, Asyur, Funisia, Arab, Akkadia, Israel dan
Babilonia. Awalnya tumbuh di wilayah yang kini masuk Yunani, kemudian diwarisi
oleh Romawi.
Pada abad ke-4 sebelum Masehi, Alexander yang Agung mencoba
mempersatukan Barat dan Timur –termasuk peradabannya– dengan peperangan dan
penaklukan. Pada awalnya, dia mengikuti pendapat umum di dunia Yunani bahwa
bangsa Yunani adalah bangsa beradab dan non Yunani adalah bangsa biadab. Ketika
dia menaklukkan dunia Timur dari Mesir hingga India, dia sadar bahwa umumnya
bangsa-bangsa yang sukses ditaklukan adalah bangsa yang telah memiliki peradaban
canggih jauh sebelum ada peradaban Yunani. Bahkan Yunani mengambil dari
Timur.
Ambisi mempersatukan dua dunia tersebut menghasilkan peradaban
baru yang lazim disebut Hellenisme, suatu peradaban yang berumur panjang dengan
Romawi dan Byzantium sebagai pengawalnya. Wilayah bekas taklukan Yunani di Asia
Barat sempat dikuasai kedua negara tersebut.
Romawi mencapai puncak
kejayaan pada periode Kaisar Augustus (36 tahun sebelum Masewhi hingga 14 tahun
sesudah Masehi).
Sementara itu Cina terkesan “kekar” untuk ditaklukan,
bahkan bangsa tersebut berambisi memperluas kekuasaan.
Antara abad ke-3
sebelum Masehi hingga abad ke-3 sesudah Masehi, Cina dikuasai oleh Dinasti Han.
Periode tersebut termasuk masa kejayaan Cina, penaklukan yang dilaksanakan oleh
dinasti tersebut sebagian besar kini masih menjadi wilayah Cina. Sebagaimana
halnya Alexander, Cina juga sadar bahwa penaklukan ke arah barat
mempertemukannya dengan bangsa-bangsa beradab. Di Asia Tengah – yang lazim
disebut Turkistan– bertemulah jalur penaklukan Yunani dengan jalur penaklukan
Cina. Mungkin dari peristiwa tersebut muncul cikal bakal jalur darat legendaris
yang dikenal dengan sebutan silkroad (jalan sutra), jalur penghubung Barat-Timur
via darat yang dipakai mungkin hingga abad-19, dan kini sedang diusahakan
menghidupkannya kembali.
Hubungan Cina-Romawi diperkirakan bermula
sekitar awal Masehi, ketika Dinasti Han berkuasa di Cina dan Kaisar Augustus
berkuasa di Romawi.
Sementara jalur sutera makin terkenal,
berangsur-angsur hubungan Barat-Timur via laut melalui Asia Tenggara
dirambah.
Yunani dan Romawi telah mengenal jalur laut ke India, dari
orang India mereka samar-samar mengetahui bahwa wilayah lebih jauh ke timur
terdapat gugusan kepulauan yang luas –mengingat pelayaran orang India telah
menjangkau Cina. Berdasar info dari mereka pakar geografi Ptolemy di Mesir
membuat peta yang samar-samar pula tentang Nusantara.
Selain musafir
India, para musafir dari Arab dan Persia juga berlayar sejauh Cina. Dalam
perjalanan mereka singgah di Asia Tenggara, termasuk kepulauan Nusantara.
Kepulauan tersebut juga menyediakan beberapa barang dagangan semisal kapur
barus, kemenyan, kulit harimau dan kayu. Mereka tertarik singgah, bahkan
bermukim, karena kesuburan tanah dan kekayaan alam Asia Tenggara.
Para
musafir Cina merantau sejauh pesisir timur Afrika dan Laut Merah, dengan
demikian mereka bertemu langsung dengan orang Barat.
Penduduk Nusantara
sempat dikenal sebagai perantau, sejak zaman pra tulisan (pra sejarah), wilayah
jelajah mereka terbentang dari pantai timur Afrika hingga gugusan pulau Pasifik
Barat. Kemungkinan besar ada pertemuan dengan orang Barat, ketika itu
imperialisme Barat mencakup Asia Barat dan Afrika Utara.
Pertemuan dengan
berbagai bangsa asing memperkenalkan penduduk Nusantara yang masih primitif
dengan arus besar peradaban Timur. Berangsur-angsur mereka mengenal pembuatan
busana, aneka menu, bahasa, huruf dan berbagai seni. Namun yang terpenting
adalah mereka mengenal agama, norma yang disampaikan Tuhan kepada manusia
melalui para nabi. Kelak mayoritas bangsa ini menganut agama “impor”, penganut
agama “asli” atau agama “suku” cenderung bermukim lebih ke
pedalaman.
Munculnya kerajaan di Nusantara mungkin dapat menjadi ukuran
seberapa banyak peradaban yang diterima bangsa ini. Sejauh yang diketahui,
kerajaan tertua adalah Kutai di Kalimantan sekitar abad 4-5. Minimnya
peninggalan yang sampai kepada kita mungkin dapat menjadi ukuran bahwa peradaban
impor yang diterima juga minim. Berbeda dengan Kerajaan Majapahit misalnya,
warisannya relatif lebih banyak sehingga dapat dinilai bahwa peradaban impor
yang diterima juga banyak. Layak diketahui bahwa Majapahit berlangsung antara
abad 13-16. Pada periode itu bangsa ini telah 1000 tahun mengenal
peradaban.
Walaupun peradaban telah hadir di sebagian besar Nusantara,
sifat asli bangsa ini yaitu barbarisme masih belum hilang. Praktek korupsi dan
pelanggaran hak asasi adalah contoh nyata yang masih hadir hingga kini.
Sesungguhnya kedua perilaku tersebut merupakan “pengembangan” dari praktek
kanibalisme dan vandalisme yang dilaksanakan oleh moyang bangsa ini saat pra
sejarah.
Kanibalisme yang berciri dasar memakan manusia dalam arti
sebenarnya –seperti layaknya menyantap hewan– dikembangkan menjadi praktek
korupsi, yaitu “menyantap” yang bukan haknya semisal uang negara atau
perusahaaan. Adapun vandalisme yang memiliki ciri dasar merusak benda
dikembangkan menjadi praktek kekerasan semisal pertumpahan darah dan perusakan
aset, dengan berbagai istilah semisal “perang”, “rusuh” atau minimal corat-coret
di tempat umum.
Riwayat bangsa ini penuh dengan kekerasan yang berakibat
“banjir darah” dan menciptakan “killing field” di negeri ini. Dengan demikian
agama atau perkara ruhani lain hanya diperlakukan –yaitu difahami dan diamalkan–
sebatas ritual semisal shalat, puasa dan haji. Namun keshalihan ritual tersebut
tidak atau hanya sedikit berdampak pada keshalihan sosial. Berbagai
perselingkuhan seperti menipu atau mencuri seakan menjadi “amal wajib”
sehari-hari disamping shalat 5 waktu setiap hari. Ingat kepada Tuhan hanya
terbatas di tempat ibadat semisal Masjid, Gereja atau Vihara. Adapun di tempat
usaha –apalagi di tempat hiburan– Tuhan terlupakan. Seakan-akan keberadaan Tuhan
hanya di tempat ibadat, selah-olah Tuhan tidak hadir atau tidak “kontrol” ke
mana-mana. Orang cenderung lupa, bahwa Tuhan tidak dibatasi ruang dan
waktu. C. Sekilas
Tentang Imperialisme Barat dan Dampaknya
Sifat
dasar barbarisme tersebut –yang mungkin sempat berkurang akibat pengaruh Timur–
kembali bertambah dengan kehadiran imperialisme Barat pada abad ke-16.
Imperialisme berakibat capaian prestasi –yaitu kemakmuran dan kecerdasan– yang
pernah diraih semisal Sriwijaya dan Majapahit menjadi rusak atau hilang.
Keterbelakangan –berupa kemiskinan dan kebodohan– menjadi ciri bangsa ini dan
kelak cenderung dilestarikan –ketika kemerdekaan telah diraih– oleh para elite
sendiri yang tidak amanah terhadap jabatan. Mungkin layak dikatakan bahwa abad
ke-16 adalah periode “jahiliyah” bagi Asia Tenggara. Khusus Indonesia, saat
proklamasi kemerdekaan 1945 sekitar 90% rakyatnya buta huruf. Bangsa ini kembali
ke titik nadir.
Imperialisme Barat semakin memeriahkan negeri ini dengan
pertumpahan darah, perlawanan terhadap imperialisme berbuah perang dengan segala
keburukannya –di samping berbagai kisah heroik dan patriotik. Bangsa ini makin
akrab dengan kekerasan, pelanggaran hak asasi tidak
berkurang.
Imperialisme Barat juga sempat memperkenalkan bentuk
perselingkuhan yang lebih canggih, misalnya yang lazim disebut korupsi. Praktek
ini adalah bentuk pencurian atau ketidak-jujuran yang lebih berat. Sebelum hadir
imperialisme, mungkin bangsa ini hanya mengenal jenis pencurian yang relatif
sederhana yang tentu berakibat kehilangan yang relatif kecil, misalnya maling
jemuran atau maling sandal. Tetapi korupsi berakibat hilangnya uang negara atau
perusahaan yang kadang mampu menuntun pada pengeroposan, bahkan
kebangkrutan.
Perusakan mental bangsa ini sangat sukses dilaksanakan oleh
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), perusahaan dari Belanda yang dibentuk
pada 1602 dan tamat pada 1799. VOC dikenal dengan perusahaan raksasa yang penuh
dengan praktek KKN dan pelanggaran HAM, kedua hal itulah yang dipelajari dan
dipraktekkan oleh bangsa ini. Ketika kolonialisme Belanda berpindah dari swasta
ke negara –yaitu kepada Hindia Belanda, praktek korupsi berangsur-angsur
berkurang namun pelanggaran hak asasi masih berlangsung– bahkan lebih kejam.
Gabungan antara sifat dasar bangsa ini yang memang barbar dengan dampak
penjajahan berakibat bangsa ini lebih jahiliyah dibanding
sebelumnya.
Walaupun Belanda paling lama menjajah Nusantara tetapi bukan
yang pertama hadir, sebelumnya ada bangsa Portugis. Bangsa tersebut hadir
pertama kali pada 1509 di Asia tenggara, tepatnya Kesultanan Malaka. Malaka
ketika itu pusat kegiatan internasional terbesar di wilayah tersebut. Kegiatan
mencakup antara lain da’wah, dagang dan diplomatik. Namun negara tersebut
mengalami proses pembusukan dengan ciri perpecahan intern keluarga istana,
Sultan Mahmud Syah berselisih dengan putra dan bendaharanya. Hukuman mati
terhadap bendahara berakibat negara tersebut kehilangan seorang pejabat yang
sedemikian handal.
Akibatnya, walaupun Malaka sempat melawan dengan
gigih serbuan pasukan Portugis namun akhirnya tamat juga riwayatnya. Tahun 1511
–saat peristiwa tersebut terjadi– bolehlah dinilai sebagai awal periode
jahiliyah Asia Tenggara, karena sejak itu “penampakan” imperialisme Barat tidak
dapat dicegah lagi. Bangsa-bangsa Barat lain beramai-ramai berebut rezeki berupa
tanah jajahan. Ketika Perang Pasifik mulai pada tanggal 7 Desember 1941, hanya
Muangthai yang masih merdeka, selebihnya dicengkeram imperialis dengan berbagai
istilah: colony, commonwealth, overseas atau protectorate.
Usaha
perbaikan bukan tak ada, sebagaimana telah disebut terdapat berbagai kisah
heroik dan patriotik di seantero Nusantara. Perang Jawa (1825-1830), Perang
Paderi (1821-1837), Kebangkitan Nasional pada awal abad-20, Revolusi 1945
(1945-1950) dan “Revolusi Darul Islam” (1949-1965) adalah beberapa contoh upaya
lepas dari imperialisme Barat sekaligus menata ulang kehidupan bangsa ke arah
yang lebih beradab dari sebelumnya, minimal meraih capaian kemanusiaan yang
pernah dimiliki pada pra kolonial, yaitu kemakmuran dan kecerdasan. Namun
kesuksesan masih jauh dari bangsa ini, bukan jarang usaha-usaha demikian
mendapat tantangan dari dalam, dengan dukungan dari luar.
Insya Allah,
dalam tulisan berikut penulis coba membahas beberapa kebobrokan bangsa ini, yang
mungkin sekitar separuhnya adalah warisan
kolonial. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar