Minggu, 19 Februari 2012

MUSLIM INDONESIA

Faisal Nobel :
A. Sekilas Asal Muasal Bangsa Indonesia
BERDASARKAN penelitian arkeologis, bangsa Indonesia –kecuali sebagian besar bagian timur– adalah termasuk rumpun Melayu sebagaimana penduduk Asia Tenggara lainnya yaitu Filipina, Malaysia, Kamboja, Vietnam, Laos, Thai dan Myanmar (dulu Burma). Adapun bagian timur Indonesia termasuk rumpun Melanesia atau ras Pasifik.

Rumpun adalah keluarga bangsa atau bentuk kumpulan beberapa bangsa. Rumpun Melayu berasal dari wilayah yang kini masuk Provinsi Yunnan, bagian selatan Republik Rakyat Cina. Dalam istilah lama dikenal pula dengan nama “India Belakang”. Mereka mulai tersebar ke seantero Asia Tenggara sekitar 3000-2000 tahun sebelum Masehi karena didesak oleh rumpun lain yaitu Mongoloid.

Rumpun Mongoloid mencakup beberapa bangsa yang kita kenal dengan Cina, Korea, Jepang, Tibet, Manchu dan Mongolia. Suku-suku dari Rumpun Melayu yang menjadi cikal bakal bangsa Indonesia pindah ke gugusan pulau yang tersebar luas di selatan daratan Asia Tenggara, yaitu Nusantara. Diperkirakan mereka pindah karena konflik intern serumpun atau langsung setelah terdesak oleh Rumpun Mongoloid. Dengan demikian mungkin dapat dinilai bahwa bangsa Indonesia dasarnya adalah bangsa pecundang. Jarang menang jika ada pertarungan atau persaingan dengan bangsa lain karena moyangnya demikian.

Perpindahan massal tersebut dikelompokkan dengan istilah Melayu Tua. Maka, citra bangsa ini sebagai pelaut atau minimal keturunan pelaut agaknya perlu ditinjau ulang –termasuk kalimat lagu Nenek Moyangku Orang Pelaut– karena mereka mengarungi lautan bukan karena jiwa pelaut tetapi terusir dari kampung halamannya di benua Asia dan berlayar ke gugusan Nusantara.

Sekitar 300 tahun sebelum Masehi terjadi gelombang kedua yang dikenal dengan sebutan Melayu Muda. Mereka telah mengenal logam untuk kebutuhan perkakas, setingkat lebih tinggi dari para migran gelombang pertama yang masih menggunakan batu.

Bagi penduduk Nusantara, periode 3000 tahun sebelum Masehi hingga 500 tahun sesudah Masehi lazim disebut pra sejarah karena belum mengenal tulisan. Maka, pembagian periode pra sejarah atau mencari nama-nama pribadi jauh lebih sulit. Peninggalan yang sampai kepada kita hanyalah fosil, perkakas dan perhiasan yang tersebar dalam beberapa situs arkeologi.

Istilah pra sejarah mungkin terkesan membingungkan atau janggal karena ilmu yang mempelajari periode tersebut adalah juga sejarah, mengingat sejarah adalah ilmu yang mempelajari kehidupan masa lalu, terlepas dari soal terdapat warisan tertulis atau belum. Kalau boleh usul, istilah pra sejarah diganti dengan istilah “pra tulisan”.

Pelan tapi pasti, penduduk kuno tersebut menata hidup di tempat yang baru. Kehidupan berkelompok mengharuskan mereka untuk memilih minimal 1 orang untuk memimpin demi keteraturan masyarakat. Dengan demikian mereka mengenal dasar-dasar demokrasi. Masalah bersama dibahas bersama –lazim disebut musyawarah– dan pemimpin melaksanakan hasil musyawarah tersebut. Hasil pembahasan yang telah disetujui bersama atau mayoritas peserta, lazim disebut mufakat. Dengan memiliki pemimpin, suatu kelompok mengenal dasar-dasar pemerintahan atau tata negara karena seorang pemimpin mustahil mampu bekerja sendiri. Dia perlu bantuan beberapa orang untuk diberi tugas, dengan demikian bangsa ini boleh dinilai telah mengenal apa yang kini lazim disebut kabinet.
B. Hubungan Awal Dengan Bangsa Asing

Asal muasal peradaban adalah dunia Timur, sekitar 5000-3000 tahun sebelum Masehi muncul peradaban di Mesir, Mesopotamia (kini mencakup ‘Iraq, Kuwait dan sedikit Turki), Arabia, India dan Cina. Melalui proses waktu yang relatif lama peradaban tersebut tersebar dan ada yang terhubung satu sama lain, secara langsung maupun dengan perantara. Barat menerima pengaruh Timur antara lain dari bangsa-bangsa Mesir, Asyur, Funisia, Arab, Akkadia, Israel dan Babilonia. Awalnya tumbuh di wilayah yang kini masuk Yunani, kemudian diwarisi oleh Romawi.

Pada abad ke-4 sebelum Masehi, Alexander yang Agung mencoba mempersatukan Barat dan Timur –termasuk peradabannya– dengan peperangan dan penaklukan. Pada awalnya, dia mengikuti pendapat umum di dunia Yunani bahwa bangsa Yunani adalah bangsa beradab dan non Yunani adalah bangsa biadab. Ketika dia menaklukkan dunia Timur dari Mesir hingga India, dia sadar bahwa umumnya bangsa-bangsa yang sukses ditaklukan adalah bangsa yang telah memiliki peradaban canggih jauh sebelum ada peradaban Yunani. Bahkan Yunani mengambil dari Timur.

Ambisi mempersatukan dua dunia tersebut menghasilkan peradaban baru yang lazim disebut Hellenisme, suatu peradaban yang berumur panjang dengan Romawi dan Byzantium sebagai pengawalnya. Wilayah bekas taklukan Yunani di Asia Barat sempat dikuasai kedua negara tersebut.

Romawi mencapai puncak kejayaan pada periode Kaisar Augustus (36 tahun sebelum Masewhi hingga 14 tahun sesudah Masehi).

Sementara itu Cina terkesan “kekar” untuk ditaklukan, bahkan bangsa tersebut berambisi memperluas kekuasaan.

Antara abad ke-3 sebelum Masehi hingga abad ke-3 sesudah Masehi, Cina dikuasai oleh Dinasti Han. Periode tersebut termasuk masa kejayaan Cina, penaklukan yang dilaksanakan oleh dinasti tersebut sebagian besar kini masih menjadi wilayah Cina. Sebagaimana halnya Alexander, Cina juga sadar bahwa penaklukan ke arah barat mempertemukannya dengan bangsa-bangsa beradab. Di Asia Tengah – yang lazim disebut Turkistan– bertemulah jalur penaklukan Yunani dengan jalur penaklukan Cina. Mungkin dari peristiwa tersebut muncul cikal bakal jalur darat legendaris yang dikenal dengan sebutan silkroad (jalan sutra), jalur penghubung Barat-Timur via darat yang dipakai mungkin hingga abad-19, dan kini sedang diusahakan menghidupkannya kembali.

Hubungan Cina-Romawi diperkirakan bermula sekitar awal Masehi, ketika Dinasti Han berkuasa di Cina dan Kaisar Augustus berkuasa di Romawi.

Sementara jalur sutera makin terkenal, berangsur-angsur hubungan Barat-Timur via laut melalui Asia Tenggara dirambah.

Yunani dan Romawi telah mengenal jalur laut ke India, dari orang India mereka samar-samar mengetahui bahwa wilayah lebih jauh ke timur terdapat gugusan kepulauan yang luas –mengingat pelayaran orang India telah menjangkau Cina. Berdasar info dari mereka pakar geografi Ptolemy di Mesir membuat peta yang samar-samar pula tentang Nusantara.

Selain musafir India, para musafir dari Arab dan Persia juga berlayar sejauh Cina. Dalam perjalanan mereka singgah di Asia Tenggara, termasuk kepulauan Nusantara. Kepulauan tersebut juga menyediakan beberapa barang dagangan semisal kapur barus, kemenyan, kulit harimau dan kayu. Mereka tertarik singgah, bahkan bermukim, karena kesuburan tanah dan kekayaan alam Asia Tenggara.

Para musafir Cina merantau sejauh pesisir timur Afrika dan Laut Merah, dengan demikian mereka bertemu langsung dengan orang Barat.

Penduduk Nusantara sempat dikenal sebagai perantau, sejak zaman pra tulisan (pra sejarah), wilayah jelajah mereka terbentang dari pantai timur Afrika hingga gugusan pulau Pasifik Barat. Kemungkinan besar ada pertemuan dengan orang Barat, ketika itu imperialisme Barat mencakup Asia Barat dan Afrika Utara.

Pertemuan dengan berbagai bangsa asing memperkenalkan penduduk Nusantara yang masih primitif dengan arus besar peradaban Timur. Berangsur-angsur mereka mengenal pembuatan busana, aneka menu, bahasa, huruf dan berbagai seni. Namun yang terpenting adalah mereka mengenal agama, norma yang disampaikan Tuhan kepada manusia melalui para nabi. Kelak mayoritas bangsa ini menganut agama “impor”, penganut agama “asli” atau agama “suku” cenderung bermukim lebih ke pedalaman.

Munculnya kerajaan di Nusantara mungkin dapat menjadi ukuran seberapa banyak peradaban yang diterima bangsa ini. Sejauh yang diketahui, kerajaan tertua adalah Kutai di Kalimantan sekitar abad 4-5. Minimnya peninggalan yang sampai kepada kita mungkin dapat menjadi ukuran bahwa peradaban impor yang diterima juga minim. Berbeda dengan Kerajaan Majapahit misalnya, warisannya relatif lebih banyak sehingga dapat dinilai bahwa peradaban impor yang diterima juga banyak. Layak diketahui bahwa Majapahit berlangsung antara abad 13-16. Pada periode itu bangsa ini telah 1000 tahun mengenal peradaban.

Walaupun peradaban telah hadir di sebagian besar Nusantara, sifat asli bangsa ini yaitu barbarisme masih belum hilang. Praktek korupsi dan pelanggaran hak asasi adalah contoh nyata yang masih hadir hingga kini. Sesungguhnya kedua perilaku tersebut merupakan “pengembangan” dari praktek kanibalisme dan vandalisme yang dilaksanakan oleh moyang bangsa ini saat pra sejarah.

Kanibalisme yang berciri dasar memakan manusia dalam arti sebenarnya –seperti layaknya menyantap hewan– dikembangkan menjadi praktek korupsi, yaitu “menyantap” yang bukan haknya semisal uang negara atau perusahaaan. Adapun vandalisme yang memiliki ciri dasar merusak benda dikembangkan menjadi praktek kekerasan semisal pertumpahan darah dan perusakan aset, dengan berbagai istilah semisal “perang”, “rusuh” atau minimal corat-coret di tempat umum.

Riwayat bangsa ini penuh dengan kekerasan yang berakibat “banjir darah” dan menciptakan “killing field” di negeri ini. Dengan demikian agama atau perkara ruhani lain hanya diperlakukan –yaitu difahami dan diamalkan– sebatas ritual semisal shalat, puasa dan haji. Namun keshalihan ritual tersebut tidak atau hanya sedikit berdampak pada keshalihan sosial. Berbagai perselingkuhan seperti menipu atau mencuri seakan menjadi “amal wajib” sehari-hari disamping shalat 5 waktu setiap hari. Ingat kepada Tuhan hanya terbatas di tempat ibadat semisal Masjid, Gereja atau Vihara. Adapun di tempat usaha –apalagi di tempat hiburan– Tuhan terlupakan. Seakan-akan keberadaan Tuhan hanya di tempat ibadat, selah-olah Tuhan tidak hadir atau tidak “kontrol” ke mana-mana. Orang cenderung lupa, bahwa Tuhan tidak dibatasi ruang dan waktu.
C. Sekilas Tentang Imperialisme Barat dan Dampaknya

Sifat dasar barbarisme tersebut –yang mungkin sempat berkurang akibat pengaruh Timur– kembali bertambah dengan kehadiran imperialisme Barat pada abad ke-16. Imperialisme berakibat capaian prestasi –yaitu kemakmuran dan kecerdasan– yang pernah diraih semisal Sriwijaya dan Majapahit menjadi rusak atau hilang. Keterbelakangan –berupa kemiskinan dan kebodohan– menjadi ciri bangsa ini dan kelak cenderung dilestarikan –ketika kemerdekaan telah diraih– oleh para elite sendiri yang tidak amanah terhadap jabatan. Mungkin layak dikatakan bahwa abad ke-16 adalah periode “jahiliyah” bagi Asia Tenggara. Khusus Indonesia, saat proklamasi kemerdekaan 1945 sekitar 90% rakyatnya buta huruf. Bangsa ini kembali ke titik nadir.

Imperialisme Barat semakin memeriahkan negeri ini dengan pertumpahan darah, perlawanan terhadap imperialisme berbuah perang dengan segala keburukannya –di samping berbagai kisah heroik dan patriotik. Bangsa ini makin akrab dengan kekerasan, pelanggaran hak asasi tidak berkurang.

Imperialisme Barat juga sempat memperkenalkan bentuk perselingkuhan yang lebih canggih, misalnya yang lazim disebut korupsi. Praktek ini adalah bentuk pencurian atau ketidak-jujuran yang lebih berat. Sebelum hadir imperialisme, mungkin bangsa ini hanya mengenal jenis pencurian yang relatif sederhana yang tentu berakibat kehilangan yang relatif kecil, misalnya maling jemuran atau maling sandal. Tetapi korupsi berakibat hilangnya uang negara atau perusahaan yang kadang mampu menuntun pada pengeroposan, bahkan kebangkrutan.

Perusakan mental bangsa ini sangat sukses dilaksanakan oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), perusahaan dari Belanda yang dibentuk pada 1602 dan tamat pada 1799. VOC dikenal dengan perusahaan raksasa yang penuh dengan praktek KKN dan pelanggaran HAM, kedua hal itulah yang dipelajari dan dipraktekkan oleh bangsa ini. Ketika kolonialisme Belanda berpindah dari swasta ke negara –yaitu kepada Hindia Belanda, praktek korupsi berangsur-angsur berkurang namun pelanggaran hak asasi masih berlangsung– bahkan lebih kejam. Gabungan antara sifat dasar bangsa ini yang memang barbar dengan dampak penjajahan berakibat bangsa ini lebih jahiliyah dibanding sebelumnya.

Walaupun Belanda paling lama menjajah Nusantara tetapi bukan yang pertama hadir, sebelumnya ada bangsa Portugis. Bangsa tersebut hadir pertama kali pada 1509 di Asia tenggara, tepatnya Kesultanan Malaka. Malaka ketika itu pusat kegiatan internasional terbesar di wilayah tersebut. Kegiatan mencakup antara lain da’wah, dagang dan diplomatik. Namun negara tersebut mengalami proses pembusukan dengan ciri perpecahan intern keluarga istana, Sultan Mahmud Syah berselisih dengan putra dan bendaharanya. Hukuman mati terhadap bendahara berakibat negara tersebut kehilangan seorang pejabat yang sedemikian handal.

Akibatnya, walaupun Malaka sempat melawan dengan gigih serbuan pasukan Portugis namun akhirnya tamat juga riwayatnya. Tahun 1511 –saat peristiwa tersebut terjadi– bolehlah dinilai sebagai awal periode jahiliyah Asia Tenggara, karena sejak itu “penampakan” imperialisme Barat tidak dapat dicegah lagi. Bangsa-bangsa Barat lain beramai-ramai berebut rezeki berupa tanah jajahan. Ketika Perang Pasifik mulai pada tanggal 7 Desember 1941, hanya Muangthai yang masih merdeka, selebihnya dicengkeram imperialis dengan berbagai istilah: colony, commonwealth, overseas atau protectorate.

Usaha perbaikan bukan tak ada, sebagaimana telah disebut terdapat berbagai kisah heroik dan patriotik di seantero Nusantara. Perang Jawa (1825-1830), Perang Paderi (1821-1837), Kebangkitan Nasional pada awal abad-20, Revolusi 1945 (1945-1950) dan “Revolusi Darul Islam” (1949-1965) adalah beberapa contoh upaya lepas dari imperialisme Barat sekaligus menata ulang kehidupan bangsa ke arah yang lebih beradab dari sebelumnya, minimal meraih capaian kemanusiaan yang pernah dimiliki pada pra kolonial, yaitu kemakmuran dan kecerdasan. Namun kesuksesan masih jauh dari bangsa ini, bukan jarang usaha-usaha demikian mendapat tantangan dari dalam, dengan dukungan dari luar.

Insya Allah, dalam tulisan berikut penulis coba membahas beberapa kebobrokan bangsa ini, yang mungkin sekitar separuhnya adalah warisan kolonial.

Tidak ada komentar: