Minggu, 19 Februari 2012

KEKERASAN / PELANGGARAN HAM

Faisal Nobel :
KEKERASAN / PELANGGARAN HAM
MENJELANG rezim Soeharto jatuh oleh gerakan reformasi, bangsa ini harus membayar mahal demi jatuhnya rezim tersebut dengan kerusuhan di beberapa kota yang menewaskan sekitar 2.000 orang. Awalnya dipicu oleh tewasnya beberapa mahasiswa akibat tembakan aparat ketika mereka berdemo, bahkan aparat menyerbu masuk kampus dan melakukan kekerasan. Entah siapa yang memanfaatkan peristiwa tersebut, kerusuhan tersebut berkobar dengan sasaran warga keturunan Cina walaupun jumlah pribumi yang menjadi korban masih lebih banyak.

Dalam waktu singkat citra Indonesia sebagai “etalase” masyarakat majemuk yang harmonis atau ramah jatuh ke titik nadir di dalam maupun di luar negeri. Kaum Muslim untuk kesekian kalinya mendapat citra buruk sebagai “doyan kekerasan” oleh massa media tertentu – dalam maupun luar negeri – ketika beredar info bahwa para pelaku kekerasan terhadap warga keturunan Tionghoa konon berteriak “Allahu Akbar” saat beraksi.

Masyarakat terkejut, mereka heran kenapa bangsa yang dikenal ramah berubah cepat menjadi garang, gemar dengan kekerasan. Maka berlomba-lomba para intelek, pengamat atau apalah istilahnya memberi pendapat ini-itu tentang penyebab kekerasan. Bukan jarang pendapat mereka tidak menjernihkan masalah namun justru mengeruhkan masalah.

Terlepas dari masalah siapa yang umat mayoritas di negeri ini, sesungguhnya penjelasan asal-muasal kekerasan tersebut tidak sulit dicari. Kekerasan atau pelanggaran HAM memang sudah lama akrab dalam riwayat bangsa ini, atau memang sudah fitrahnya. Riwayat bangsa ini penuh dengan kekerasan hingga berdarah-darah, jadi bukan perkara baru.

Dalam sejarah bangsa ini banyak terdapat kisah peperangan yang bukan hanya melawan penjajah tetapi juga sesama saudara. Perang antar pangeran dan antar kerajaan lazim terjadi, perebutan kekuasaan putra mahkota sepeninggal ayahanda begitu meriah menghiasi sejarah Indonesia. Ini berakibat tanah Indonesia tidak ada yang bersih dari tumpahan darah, termasuk yang sehari-hari kita pijak kini. Agaknya hal ini perlu disimak oleh masyarakat –termasuk orang-orang yang disebut pakar atau kaum intelektual– supaya tidak menghasilkan pendapat yang terkesan pandir.

Sejak lama telah jelas bagi penulis, bahwa apa yang dinamakan ramah-tamah, sopan santun, budi luhur yang dilekatkan atau dipromosikan bangsa ini sesungguhnya hanya mitos, kedok atau kosmetik belaka, supaya terkesan cantik. Rezim Soekarno dan Soeharto dengan cerdik menampilkan citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang santun untuk melanggengkan kekuasaannya. Untuk memastikan bahwa bangsa Indonesia hidup penuh harmoni atau adem ayem, mereka menggunakan sikap represif, hingga menyentuh hal yang sedemikian pribadi yaitu kebebasan berfikir atau berpendapat –yang hampir pasti jika dilonggarkan akan menimbulkan peluang beda pendapat atau polemik. Polemik dinilai mengganggu harmoni atau ketertiban umum. Harmoni adalah konsep yang konon sangat dijunjung tinggi dalam budaya yang melatari kedua tokoh tersebut yaitu budaya Jawa. Berbeda pendapat cenderung dinilai tidak praktis.

Harmoni palsu tersebut terbongkar ketika mereka digulingkan, terjadi kekerasan yang mengerikan. Konon peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru meminta tumbal sekitar 1.500.000 orang. Peralihan dari rezim Orde Baru ke Orde Reformasi konon mengorbankan nyawa sekitar 2.000 orang. Tampillah sifat asli bangsa ini yang jauh dari beradab. Sesungguhnya dalam riwayat bangsa ini, di Jawa justru lebih sering terjadi pertumpahan darah dan pelakunya tentu umumnya dari suku Jawa –yang dikenal sebagai suku paling santun di Indonesia. Tambahan pula, sedikit yang tahu bahwa selama perioda Orde Baru ada sekitar 3.200.000 orang yang tewas dalam berbagai pelanggaran HAM. Kasus Timor Timur, Aceh, Papua, Lampung, Tanjung Priok hanya sedikit contoh!

Harap simak kembali sejarah, apakah Indonesia –atau Asia Tenggara– tempat lahir peradaban semisal agama, seni atau filsafat? Penelitian yang telah dilaksanakan sejak lama membuktikan bahwa wilayah tersebut bukan tempat lahir peradaban tetapi impor peradaban. Hubungan dengan bangsa asing semisal Cina, India, Persia, Arab dan bangsa-bangsa Eropa berakibat bangsa-bangsa Asia Tenggara mengenal peradaban. Bangunan masjid dikenal dari Arab, bangun candi dikenal dari India, bangun klenteng dikenal dari Cina dan bangun gereja dikenal dari Eropa. Adapun bangsa-bangsa Asia Tenggara hanya mampu menumpuk batu-batu dengan susunan tak berketentuan bentuknya untuk tempat pemujaan, hidup di gua atau di atas pohon karena tidak tahu teknik bangun rumah. Bahkan huruf pun juga harus impor karena tak mampu mencipta sendiri semisal Sansekerta –Pallawa dari India– yang kelak menjadi huruf Jawa.

Kalau boleh penulis sebut contoh, sekitar 100-150 tahun lalu terhitung dari tahun 2000 masih ada di Indonesia praktek kanibal yaitu di pedalaman Sumatera Utara dan Irian Jaya. Di pedalaman Kalimantan terdapat tradisi mengayau (penggal kepala). Ini adalah contoh bahwa bangsa ini memang akrab dengan kekerasan atau kekejaman. Kehadiran para misionaris asing berangsur-angsur mengurangi tradisi tersebut.

Setelah tahu latar belakangnya, peluang untuk mencari “obatnya” mungkin relatif lebih mudah.

Bangsa ini harus berani jujur dengan mengakui sifat barbarnya –terutama para inteleknya. Masyarakat jangan lagi dibohongi dengan berbagai sanjungan diri sendiri, jangan lagi waktu dan tenaga dihabiskan untuk mencari kekurangan bangsa lain –nyata maupun khayal. Usut segala pelanggaran HAM yang pernah terjadi dan umumkan kepada masyarakat. Beberapa peristiwa yang dinilai heroik-patriotik dalam sejarah nasional perlu ditinjau kembali, apakah terdapat unsur pelanggaran HAM. Jangan cuma pelanggaran HAM oleh penjajah yang ditampilkan tetapi juga pelanggaran HAM yang dilaksanakan oleh para aktivis kemerdekaan, yang lazim disebut “pejuang” atau “pahlawan” tersebut. Karena para pejuang adalah manusia pula dan bukan malaikat, perjuangan mereka tak lepas dari kesalahan bahkan kekejaman.

Jika masyarakat telah sadar siapa dirinya, barulah sajikan pelajaran nilai-nilai adab semisal agama. Ini memang suatu proses yang panjang, mahal dan sulit tetapi sudah mendesak untuk segera dilaksanakan. Bangsa ini sudah menghabiskan waktunya demi kebohongan dan para intelek perlu bertanggung jawab membongkar atau mengakhirinya. Jangan ragu mengungkap pelanggaran HAM yang dilaksanakan oleh orang-orang yang diakui pahlawan atau pejuang. Jika yang bersangkutan masih hidup upayakan untuk diadili, masalah apakah akan ada pertimbangan kemanusian yang akan meringankan hukuman itu soal lain. Jika yang bersangkutan sudah tiada, tetap diusut dan dipublikasikan.

Sekadar membuka wacana, penulis ambil perioda Revolusi 1945 –periode yang diagungkan atau dikeramatkan sebagai titik puncak perjuangan bangsa ini meraih kemerdekaan. Beberapa peristiwa yang dinilai heroik-patriotik diduga terdapat pelanggaran HAM. Begitu kekuasaan Jepang menyusut dan proklamasi diumumkan, di Aceh, Sumatera Timur, Banten dan pantura Jawa Tengah berkobar peristiwa yang disebut “revolusi sosial”. Intinya, mengganti para pejabat-aparat lama –yang dinilai antek atau minimal dekat dengan rezim asing baik Barat maupun Jepang– dengan orang-orang yang revolusioner. Dalam praktek, pergantian tersebut sering disertai pertumpahan darah atau tindak main hakim sendiri.

Peristiwa yang mendahului dan menyertai Hari Pahlawan tidak terlepas dari pelanggaran HAM fihak-fihak yang terlibat. Pada hemat penulis, kita tak perlu lagi membahas pelanggaran yang dilaksanakan oleh penjajah karena sejak kecil kita sudah ditanamkan bahwa penjajah yang pernah bercokol di Indonesia adalah kejam. Maka tiba waktu membahas pelanggaran yang dilaksanakan oleh para aktivis kemerdekaan. Penulis mendapat info dari sumber Barat, bahwa pernah terjadi pembantaian terhadap sekitar 100 warga Barat mantan tawanan Jepang. Truk yang mengangkut mereka dicegat aktivis dan kemudian dibakar. Sumber lain mengatakan ada upacara minum darah para warga Barat sebelum pergi berperang.

Tersebut pula peristiwa yang mendahului dan menyertai Palagan Ambarawa, para aktivis menerobos kamp kemudian menembaki warga Barat mantan tawanan Jepang. Demikian pula nasib para penghuni kamp di Depok, sekitar 30 km selatan Jakarta, mereka digiring keluar dan dibunuh.

Di Bandung, peristiwa Bandung Lautan Api 1946 mungkin mirip dengan peristiwa bumi hangus di Dili pasca jajak pendapat pada 1999. Banyak aset sipil –bahkan sebagian besar– dibakar.

Pada bulan Agustus 1946, terjadi pembantaian terhadap 18 warga Barat di desa Balapulang. Mereka disuruh menghormat bendera Merah Putih kemudian dipukul dan ditusuk hingga tewas.

Kalau boleh penulis usul, perlu dibentuk tim pencari fakta kasus pelanggaran HAM selama perioda 1945-2005, diawali sejak tahun 1945 karena ketika itu bangsa ini memiliki negara atau pemerintahan sendiri yang notabene bertanggung jawab terhadap penghargaan HAM. Tetapkan kriteria bahwa pelakunya adalah orang Indonesia dan korbannya adalah orang Indonesia maupun non Indonesia. Suatu pekerjaan yang tidak mudah namun perlu dilaksanakan supaya menjadi pelajaran berharga –tepatnya kritik diri– untuk bangsa ini, agar tidak mengulangi hal yang sama di masa depan.

 

Tidak ada komentar: